http://makazine.blogspot.com/ http://makazine.blogspot.com/ http://makazine.blogspot.com/ http://makazine.blogspot.com/ http://makazine.blogspot.com/

5/28/10

BEHIND THE ZINE MAKA #3




 MENCARI CERITA VESPA
Words by Gilang Fauzi / Photo by Andy & Gilang

Jatinangor-Pangandaran, Minggu ke-2 bulan April.
Isu selanjutnya mengenai Vespa. Perumusan isu yang masih meraba-raba ini memaksa kami untuk menulusuri informasi dari sana-sini. Dari banyak mulut, yang juga para scooterist, kami mendapat banyak rekomendasi tempat yang mesti dikunjungi. Tapi yang dijadikan sebagai tujuan utama tentunya adalah jalan-jalan. Memiliki hobi sebagai pelancong, kami memilih rute pantai selatan sebagai perhelatan akhir. Perjalanan Maka kali ini: Garut-Ciamis-Banjar-Pangandaran.
Hari Jumat kami berangkat. Enam orang dengan tiga sepeda motor. Yang semula dijanjikan melaju pagi hari, kami baru bisa melesat menjelang petang. Kami terpaksa menunggu kawan yang terlebih dulu menjemput gitar ke Majalaya. Rasanya kurang pas jika bertamasya tanpa membawa alat musik. Tapi kenapa harus ke Majalaya?
Setelah berdiskusi singkat, dari Jatinangor kami memilih untuk langsung menuju Ciamis, menjadikan Garut sebagai tujuan akhir sebelum nantinya kembali pulang.
Di tengah perjalanan, si hijau uring-uringan. Selain rem yang seadanya, lampu redup Vespa itu harus mati tengah jalan. Kami terpaksa menepi lebih dini sekitaran Malangbong.
Selepas isya, juga mie+cuka yang habis terlahap, kami berpamitan dengan si ibu mpunya warung. Lampu si hijau sudah kembali menyala dengan normal (tapi rem masih tetap harus dikocok). Sampai perbatasan masuk Tasikmalaya, cuaca masih cerah dan kering. Kami kembali menepi untuk menghabiskan beberapa linting tembakau agar perjalanan terasa lebih mantap. Tentunya juga beberapa cangkir kopi kental yang gurih, biar tambah akrab dan jantan.
Memasuki Tasik kami sempat kembali rehat dalam waktu yang lama karena guyuran hujan yang cukup menyita waktu. Kami baru tiba di Ciamis mendekati tengah malam. Setibanya di alun-alun Ciamis, air mancur di sana dimatikan tepat ketika kami hendak berpose. Sial.
Di Ciamis, kami menginap di rumah Bob, si pemilik Vespa hijau. Makan malam dan sarapan pun jadinya gratis. Pagi hari kami saling tuding tentang siapa yang mandi terlebih dulu.
Beruntung kali ini jam tidak terlalu ngaret. Sebelum dzuhur kami sudah bisa berkemas dan berpamitan untuk meneruskan perjalanan ke Banjar yang tidak memakan banyak waktu.
Di perbatasan masuk kota Banjar itu kami berhenti untuk menanyakan alamat Pa Haji Maman yang menjadi tujuan pertama liputan.
Sial, lagi. Baru saja kembali melaju meneruskan perjalanan, si hijau lagi-lagi mogok, hanya dalam radius beberapa meter saja di perbatasan memasuki Banjar. Yang tadinya sumringah berfoto ria, kini menelan ludah disoroti matahari yang menyengat di siang bolong.
Setelah menanyakan alamat dan menerka-nerka alamat seadanya, kami disambut di salah satu rumah “anak buah” Pa Haji. Dari sana kami berpindah ke salah satu ruko tempat anak Banjar Scooter Club (BSC) biasa mangkal.
Sembari menunggu kedatangan Pa Haji, bersama cemilan, kopi, dan tembakau Padudjaya, kami disemproti minyak setan! “jangan ngaku pernah maen ke Pa Haji kalau belum nyobain minyak setan …” Minyak setan ini sejenis cairan hasil fermentasi akar, daun, dan tetumbuhan khas Dayak yang berfungsi mirip seperti minyak angin/balsem. Jangan tanya rasanya seperti apa ketika disemprot ke kulit; panasnya melebihi gigitan seribu semut api!
Suasana mulai lumer dan akrab setelah kami saling mengenal satu sama lain. Menjelang Ashar, datang mobil keluaran anyar memasuki ruko. Lalu supir yang mengantar beberapa penumpang itu mendekat, melepas baju batik dan sepatunya, menyalami kami satu per satu. Ini dia, ternyata, orang yang ditunggu.
Cukup lama kami berbincang. Wawancara menjadi terasa ringan karena pembawaan Pa Haji yang santai dan bersahaja. Pa Haji adalah orang yang cukup disegani oleh beberapa kalangan di dunia Vespa. Meski banyak menuai kontroversi, kedatangan kami yang sekaligus mendapatkan banyak pemaparan darinya, membuat beliau layak untuk diangkat sebagai sosok di rubrik MukaMaka nantinya. Setelah wawancara di ruko itu, kami membubarkan diri untuk berpindah tempat ke kediaman Pa Haji yang sebenarnya.
Rumahnya sederhana namun asri. Halamannya luas, ada saung diatas kolam, juga 2 gudang besar yang digunakan sebagai tempat menyimpan kendaraan milik Pa Haji –Vespa, Trail, Jeep, Harley Davidson- yang jumlahnya tidak cukup dihitung dengan jari. Tapi yang membuat kami kaget pertama kali adalah, ternyata rumahnya tidak jauh dari tempat si hijau mogok tadi siang.
Di sana kami melakukan sesi foto untuk keperluan majalah. Sisanya hanya mengobrol ringan. Pa Haji lebih banyak bercerita seputar pengalamannya. Beruntung kami sabar dan tidak buru-buru pulang. Petang hari kami disuguhi ikan bakar dengan sambal khas ala Banjar. Maknyus, gratis lagi.
Setelah kenyang, kami dipaksa untuk menginap saja di sana. Tapi kami berkelit dan memaksa diri untuk meneruskan perjalanan langsung ke Pangandaran saja. Pa Haji sempat menakut-nakuti kami dengan memberi gambaran buruk yang akan terjadi di sepanjang perjalanan menuju Pangandaran jika kami memaksa untuk tetap berangkat malam hari. Tapi kami terlalu badung untuk itu. Maka setelah foto bersama, kami pun melepas diri dari sana, meneruskan perjalanan, mengejar malam minggu di Pangandaran …
Perjalanan harus dtempuh lebih dari 3 jam gara-gara si hijau, lagi-lagi, tersendat tengah jalan. Cukup lama mesin dibongkar dan diotak-atik. Ternyata, setelah nyala-mati nyala-mati (dan begitu seterusnya; tersendat-sendat), ada satu bagian yang benar-benar lupa untuk diperiksa: tangki bensin!
Mendekati Pangandaran, hujan deras. Kami menepi di warung untuk mengopi dan meregangkan yang tegang. Setelah berkompromi, kami memilih untuk menggunakan penginapan saja. Tenda yang kami bawa jadinya tak terpakai.
80 ribu untuk dua kamar, dengan kesepakatan jam 12 siang nanti kami sudah harus angkat kaki. Tapi malam itu terlalu naïf jika dihabiskan untuk sekedar tidur di penginapan. Hasilnya, kamar disewa persis seperti penitipan barang saja. Malam itu kami melarutkan diri di atas pasir basah pinggir pantai. Kami bernyanyi, dan lagu-lagu kami mengalahkan segalanya. Nun jauh di sana, di ujung pandang laut, langit masih berkelap-kelip menyisakan kilatan awan yang bergemuruh. Barulah, lewat tengah malam, awan menyibakkan bintang-bintang yang mulai bertaburan. Mantap.
Seharusnya disiplin pada waktu demi mengejar esok yang masih belum tuntas, tapi hingga pagi buta kami masih terjaga. Bahkan terlalu sia-sia jika pagi hari tidak mengunjungi pantai timur. Meski sunrise tertutup gulungan awan kelabu, kami menikmati ketenangan pagi di sana. Udara segar dan deburan ombak menerpa pondasi bebatuan yang kami pijak, rasanya seperti cooling down; sebuah relaksasi sebelum menutup mata.
Mata memang sudah tidak lagi bisa berkompromi untuk terjaga, tapi siang hari suhu di kamar jadi seperti panggangan dalam sauna, apalagi teringat janji pada yang punya penginapan untuk berkemas tengah hari. Satu persatu kami terbangun. Kali ini tidak lagi saling tuding siapa yang mesti mandi terlebih dulu. Lewat jam 1 siang kami sudah menanggalkan kunci kamar. 
Kami memilih rehat di pinggir pantai untuk mengumpulkan nyawa. Di tengah lemas dan kantuk yang mendera, juga kocek uang yang menipis takterorganisir, taksatu pun dari kami yang berinisiatif membuka percakapan. Padahal dari Pangandaran ini kami seharusnya mendatangi satu narasumber untuk keperluan liputan selanjutnya. Tapi gelagat kami yang malas dan lelah itu ditutupi dengan perilaku yang pasrah, “Bebas … hayu … terserah …”(Gil)

9 comments:

  1. peeeerrrtaaamaaaxxxx gaaan.....

    ReplyDelete
  2. Hahaha...Masa muda yg indah...Nice trip, guys...;)
    Gue jg punya kenangan sm vespa dulu. Itu kendaraan Abang gw pas SMA. Sebelum ke sekolahnya, kadang dia nganter gw dulu ke sekolah gw. Untuk nyampe ke sekolah gw, harus ngelewatin jembatan yg nyebrang jalan tol. Ga tau dah tuh vespa kenapa. Ujug2 mundur pas kami lg nanjak hampir sampai puncak. Wkwkwkwkwk...Sempet shock juga gue...Akhirnya sm Abang gw, tuh vespa dijatohin ke samping, biar kaga ngegelinding terus ;p _9470_

    ReplyDelete